Semua berjalan seperti yang kuharapkan. Pagi menyambutku dengan senyum berwujudkan dingin udara dan embun. Semua sudah ada di buku catatan kecilku. Yah, buku kecil ini seperti PDA manual seorang pria pelupa sepertiku. Aku akan pergi hari ini, 19 Agustus.
Bersama sahabat yang ku anggap seperti adik sendiri, Yatni. Perempuan cantik dan baik hati itu kuajak meminjam buku di perpustakaan. Kami sama-sama kuliah di sastra.
Aku menelpon Yatni. Ternyata dia sudah jalan duluan. Aku pun bersemangat untuk menyusulnya. Tapi tiba-tiba, rasa gundah menyelimuti aku. Ya Allah, bantulah hamba. Perasaan hamba sungguh-sungguh gundah. Hamba meminta ampunan kepadaMu.
Memang Allah Maha Adil. Mempertemukan kami disebuah perempatan jalan. Singkat kata, kami pun bisa -menuju perpustakaan bersama-sama.
Pagi yang cerah yang menanungi sepanjang perjalan kami. Dengan mentari yang hangat menyentuh kulit dan bunyi sahut-sahutan burung yang nadanya seperti menyemangati siapa saja yang mendengarnya.
Tak berapa lama kami pun sampai di tempat tumpukan buku perpustakaan. Kami sudah sering menjejakan kaki di tempat yang penuh dengan kertas ini. Jadi tak ayal seluruh pegawai selalu memberi lemparan senyuman dan sapaan yang sangat menyejukan hati.
"Tugas semester ini berat banget ya, Mid ?" Yatni membuka percakapan. "Bener banget," sahutku.
"Menerjemahkan puisi memang benar-benar menyakitkan," kata Yatni.
Kali ini aku melihat wajahnya yang diselimuti jilbab ungu bercorak bunga tepat di sebelah kanan bagian atas dahinya. Yatni tertawa dengan senyum di pipinya.
"Sungguh menggemaskan" pekikku dalam hati."Ya Allah kenapa aku berpikiran seperti ini?" kataku dalam hati.
Konsentrasiku hilang. Aku asal-asalan mengerjakan tugas. "Hebat kamu Mid, coba lihat" kata Yatni tiba-tiba. Dengan malu-malu kujawab tugas yang kukerjakan salah. Lalu kujauhkan buku catatanku dari Yatni. "Kamu aneh banget sih hari ini?" kata Yatni.
***
"Maaf nak Hamid, kamu mengidap liver," kata seorang lelaki berbaju serbaputih itu. "Ini sudah stadium 3. Kenapa baru memerikasanya?" lelaki itu melihat dengan wajah yang benar-benar khawatir.
"Saya begitu sibuk, Dok." Aku tersenyum padanya.
"Kamu terlalu meyepelekan penyakitmu," keluh dokter yang rambutnya berubah itu sembaru meyerahkan resep. Aku keluar dengan langkah gontai. Dalam mengendarai motor bututku pun aku masih melamun. Masalah apalagi ini. Aku hanya seorang siswa yang sederhana dan pas-pasan.
Ibu hanya seorang kuli cuci. Sedangkan ayah hanya bekerja sebagai cleaning service di sebuah mal. Tentunya pendapatn mereka tak cukup untuk menmbiayai pengobatanku ini. Alih-alih pengobatan, kalau tidak beasiswa mana mungkin aku bisa berstatus mahasiswa. Apakah ini sebuah cobaan bagiku, Ya Rabb?
Aku akhirnya tiba di rumah, meskipun masih membawa tatapan kosong. Hingga panggilan ibupun tak kuhiraukan. Aku kemudian mengambil pena dan kemudian menggerak-gerakannya. Akupun menulis catatan kecilku.
Hanya kepadaMu aku berserah ya Rabb. Apakah dengan ini Engkau mencoba menguji imanku? Tak akan ku biarkan Umi menangis lagi, tak aan kubiarkan Abi merasa bersalah lagi. Mereka pantas menghuni surgaMu ya Rabb. Biarlah perbuatan diam hamba, menjadikan semua dapat berakhir bahagia. Ya Rabb ampunilah hambamu yang khilaf ini.
Dengan mengucap namaMu aku...............
Tulisanku terpotong karena Umi datang mengahmpiriku. Dengan sigap aku menyembunikan catatan itu. Umi menyuruhku memasak air. Maafkan aku Umi.
***
Kubawa motorku perlahan. Pandanganku semakin kabur hingga aku ingin menghentikan motor. Seketika ada cahaya didepanku dan terdengar bunyi benturan keras. Kemudian di pandangan ku hanya kegelapan. Ya, semuanya hitam.
Aku terbangun di sebuah ruangan yang penuh dengan botol air menggatung. Aku tertawa. Ada beberapa orang berdiri di depanku.. Umi, Abi, dan Yatni. Aku menunjuk catatan kecil yang dipegang oleh Yatni.
"Sudah, Mid." Umi berbicara dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu jangan terlalu banyak bergerak. Kamu..." Umi tak bisa melanjutkan kata-katanya. Hanya terdengar isak tangis.
"Sudah, Umi. Hamid akan baik-baik saja." Abi memeluk Umi, mencoba menenangkannya.
"Umi, Abi, maafkan Hamid ya?" Entah kenapa aku ingin meminta maaf kepada mereka berdua.
"Yatni, maafkan Hamid ya. Semoga bahagia." Aku mengatakannya dengan tetesan air mata.
"Hamid, aku sudah membacanya. Kenapa kau pendam apa yang kau rasakan selama ini. Hamid, Yatni sayang Hamid. Tapi Umi dan Abi Yatni menjodohkan Yatni. Yatni sayang Hamid. Hamid maafin Yatni ya ?" Yatni kini menangis dan hanya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Aku hanya menangguk. Tersenyum tanda setuju. Itulah kata-kata terakhir. Kemudian aku melihat cahaya yang begitu terang benderang. Aku hanya mengucapkan Lailahailallah dan aku melihat cahaya yang terang, terang, dan terang.
Umi danAbi memelukku. Sedangkan Yatni berlutut di lantai dengan berurai air mata. Kemudian semuanya hilang. Cahaya itu menghisapku jauh pergi dan tak mungkin akan kembali. ***
No comments:
Post a Comment